Tuesday, September 4, 2012

Pernikahan, Sebuah Komitmen Bukan Perjanjian

Mengasihi dalam sebuah pernikahan bukanlah sebuah perjanjian, namun sebuah komitmen. Sebuah perjanjian bisa saja batal, karena syarat-syarat tidak dipenuhi. Seorang suami bisa berkata, "Saya akan mengasihi istri saya, apabila dia selalu melayani saya". Atau seorang istri berkata, "Saya akan mengasihi suami saya apabila segala keinginanku bisa dipenuhinya." Tentu bukan hubungan seperti ini yang dimaksudkan dalam pernikahan. Komitmen dalam pernikahan akan berkata, "Saya akan tetap mengasihi istri saya, meskipun dia tidak lagi selincah dulu melayani saya", atau "Saya akan tetap mengasihi suami saya, meskipun kebutuhan kami pas-pasan, karena saya tahu suamiku telah berusaha semaksimal mungkin" Di dalam dunia ada pelbagai ikatan perjanjian namun tidak ada satu pun yang mengikat seerat pernikahan. Komitmen nikah bukanlah kesepakatan untuk mencapai satu tujuan tertentu; komitmen nikah adalah janji untuk melebur menjadi satu selamanya. Semulia apa pun tujuan pernikahan kita, tetaplah yang menjadi dasar haruslah komitmen untuk melebur menjadi satu. Inilah sarana sekaligus tujuan pernikahan. Dengan kata lain, di dalam pernikahan kita akan dan seharusnya mengalami transformasi untuk menjadi pribadi yang berbeda-yang lebih baik-akibat hasil peleburan dengan pasangan. Kehadiran anak merupakan wujud nyata dari peleburan dua menjadi satu ini. Tidak mungkin kita mengurai anak menjadi partikel-partikel yang teridentifikasi sebagai milik ayah dan ibu. Dengan kata lain, anak adalah wajah baru dari peleburan suami dan istri. Jika anak adalah buah dari penyatuan jasmaniah antara suami dan istri, maka kasih adalah buah dari penyatuan rohaniah suami dan istri. Kasih adalah sarana sekaligus hasil dari penyatuan antara suami dan istri. Dengan kata lain, kasih adalah pelekat antara suami dan istri namun kasih adalah buah dari kesatuan suami dan istri pula. Jadi, pernikahan adalah sebuah komitmen yang keluar dari kasih sekaligus komitmen untuk mengasihi. Kita mengharapkan yang terbaik dari pasangan namun mesti siap menerima yang terburuk darinya pula. Dengan kata lain, di dalam pernikahan kita mendapatkan kesempatan untuk menjadi diri yang terbaik dan memperoleh jaminan penerimaan atas diri kita yang terburuk.

No comments:

Post a Comment